BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Era global ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan
ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan
teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang
berkualit
as. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar.
as. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar.
Pembangunan
pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan
nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan
dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik,
dan budaya. Karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga
negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa
Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan Pemerintah
bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan
kesejahteraan umum. Kurang meratanya pendidikan di Indonesia menjadi suatu
masalah klasik yang hingga kini belum ada langkahlangkah strategis dari
pemerintan untuk menanganinya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi pemerataan
pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana upaya pemerintah dalam
melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi
pemerataan pendidikan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana upaya
pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.
D.
Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui bagaimana kondisi
pemerataan pendidikan di Indonesia.
2. Dapat mengetahui bagaimana upaya
pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi Pemerataan Pendidikan Di
Indonesia
Di
Indonesia, yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di
daerah miskin dan terpencil. Untuk mengatasi kebutuhan pendidikan bagi mereka
adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara lain itu adalah memanfaatkan
potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi baru. Sekalipun teknologi baru
seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan pemerataan
pendidikan dengan biaya yang relatif rendah, penggunaannya masih merupakan
jurang pemisah antara ‘yang kaya’ dan ‘yang miskin’. Di samping itu, sekalipun
teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau serta dapat menghadirkan
pendidikan kepada warga belajar, mereka yang terlupakan tetap dirugikan karena
bukan hanya tetap buta teknologi tetapi tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan.
Mayoritas kaum miskin di Indonesia tinggal di tempat-tempat jauh
yang terpencil. Mereka praktis kekurangan segalanya; fasilitas, alat-alat
transportasi dan komunikasi di samping rendahnya pengetahuan mereka terhadap
teknologi. Bila pendidikan ingin menjangkau mereka yang kurang beruntung ini
kondisi yang proporsional harus diciptakan dengan memobilasasi sumber-sumber
lokal dan nasional. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah
geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur
Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan
penduduk ataupun antargender.
Kurangnya
pemerataan dan carut-marut pendidikan kita selama ini disebabkan pendidikan
dikelola tidak secara profesional. Terjadi bongkar pasang kebijakan secara
tidak konsisten, misalnya; penerapan kurikulum CBSA, Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) dan kurikulum KTSP. Penggantian nama dari SMA ke SMU kembali
lagi ke SMA, sebelum diadakan evaluasi hasil pelaksanaannya.
Terbatasnya ketersediaan
buku juga merupakan salah satu faktor terpenting penyelenggaraan pembelajaran
yang berkualitas. Namun demikian berbagai sumber data termasuk SUSENAS 2004
mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran
baik dengan membeli sendiri maupun disediakan oleh sekolah.
1. Pemarataan
pendidikan formal
a. Pendidikan
prasekolah dan sekolah dasar
Pendidikan
prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, misal : playgroup dan
taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal
sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan,
masih sangat jarang dan mutunya sangat berbeda dengan pendidikan prasekolah
yang ada di daerah perkotaan.
Pendidikan
sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah,
hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari
pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan
pedesaan.
Ketersediaan buku juga merupakan
salah satu faktor sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang
berkualitas, namun buku pelajaran yang diperlukan itu belum tersedia secara
memadai, terutama dalam pendidikan dasar. Data Susenas 2004 dan sumber-sumber
yang lain mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dalam pendidikan dasar
dapat mengakses buku pelajaran, baik dengan membeli sendiri maupun mendapat
pinjaman dari sekolah. Adanya sekolah-sekolah yang membolehkan guru mata
pelajaran menjual buku yang berharga tinggi juga menjadi permasalahan
tersendiri. Penjualan buku-buku dengan harga yang cukup tinggi membuat
masyarakat yang kurang mampu merasa terbebani.
b. Pendidikan
menengah
Pada
pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam
pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis,
elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan
atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi
silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image”
di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas, sekolah plus,
sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen
(laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada
sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
c. Pendidikan tinggi
Untuk
pendidikan tinggi persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam
memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun.
Biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang
sangat besar, sehingga hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja
yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik
langsung maupun tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya
partisipasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
Penyebaran
geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata.
Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga
masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi
melanjutkan pendidikan tinggi.
Kritik
kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi
beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB.
BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan
dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi. Untuk bisa kuliah di
universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan
uang puluhan juta rupiah.
Ada
beberapa argument yang menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala
komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini
bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal
akan makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme.
Gejala ini jelas bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti
diamanatkan di dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Prinsip dasar pemerataan
ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat,
untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan ideologis di
balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi
adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang
yang berasal dari kelas bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan
akses pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu. (Eka, R. 2007).
2. Pemerataan pendidikan nonformal
Di samping menghadapi permasalahan
dalam meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan di jalur formal, pembangunan
pendidikan juga menghadapi permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan
pendidikan non formal.
Pada jalur pendidikan non formal juga menghadapi
permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap
warga masyarakat. Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang
berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun
sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh
masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia
dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih
sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya
yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke
bawah.
3.
Permasalahan pemerataan pendidikan di Indonesia
Pemerataan pendidikan dalam arti
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi
masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara sedang berkembang.
Peningkatan pemerataan pendidikan, diutamakan bagi kelompok masyarakat miskin
yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk.
Kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain
itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat
perhatian gunamencegah munculnya kecemburuan sosial. Pemerataan pendidikan di
Indonesia merupakan masalah yang sangat rumit. Ketidakmerataan pendidikan di
Indonesia ini terjadi pada lapisan masyarakat miskin. Faktor yang mempengaruhi
ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor finansial atau keuangan Semakin
tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang dikeluarkan oleh individu.
Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya hidup
pada taraf yang tidak berkecukupan.
Masalah
pemerataan pendidikan juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana. Di beberapa
daerah di Indonesia terdapat banyak sekolah yang kurang terawat.
Pada tahun 2006 sekitar 57,2 persen gedung SD/MI dan sekitar 27,3 persen gedung
SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Gedung SD/MI yang dibangun
secara besar-besaran pada saat dimulainya Program Inpres SD tahun 1970-an dan
Program Wajib Belajar Enam Tahun pada tahun 1980-an sudah banyak yang rusak
berat yang diperburuk dengan terbatasnya biaya perawatan dan perbaikan. Di
bebrapa daerah terpencil sebagian gedung sekolah hanya terbuat dari kayu dan
berlantaikan tanah. Hal ini diakibatkan oleh buruknya akses jalan menuju daerah
tersebut dan kurangnya perhatian dari pemerintah.
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan
Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka
Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3
juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi
Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta siswa). Sementara
itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan
dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan
tersebut. Berbagai permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerataaan peendidikan.
a. Pendidikan
prasekolah,
Beberapa
permasalahan yang masih dihadapi dewasa ini adalah sebagai berikut:
a) Sebagian
besar pendirian lembaga-lembaga pendidikan prasekolah yang diprakarsai oleh
masyarakat masih berorientsi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk
wilayah-wilayah di pedesaan atau daerah terpencil dirasakan masih sangat
kurang. Hal ini berakibat pada kurang adanya pemerataan kesempatan untuk
pendidikan prasekolah.
b) Masih
terdapat pendirian/penyelenggaraan pendidikan prasekolah tidak memenuhi standar
minimal baik dari segi sarana dan prasarana maupun mutu dan profesionalisme
guru.
c) Kondisi
sosial ekonomi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil yang sebagian besar
miskin telah menyebabkan kualitas gizi anak kurang dapat mendukung aktivitas
anak didik dalam bermain sambil belajar.
d) Banyak
penyelenggaraan pendidikan prasekolah terutama dikota-kota besar, kurang
memperhatikan kurikulum dengan mempraktekkan pola pendekatan terhadap anak
didik terlalu berorientasi akademik dan memperlakukannya sebagai "orang
dewasa kecil" yang dapat menyebabkan terjadinya proses pematangan emosi
anak menjadi kurang seimbang.
b. Pendidikan
dasar
Dalam kaitannya dengan perluasan dan pemerataan
program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, wajib belajar belum memiliki
makna "compulsory" karena ketidakmampuan subsidi pemerintah untuk
menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya cukup besar dan secara
ekonomi tidak mampu.
B.
Upaya
Pemerintah dalam Melakukan Pemerataan Pendidikan Di Indonesia.
Untuk
meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil
seperti peningkatan jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap
pendidikan ini dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah
Dasar hingga Sekolah Menengah Umum. Dewasa ini, pemerintah telah melakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya, hal itu dapat
dilihat sejak tahun 1984, Indonesia telah berupaya untuk memeratakan pendidikan
formal Sekolah Dasar, kemudian dilanjutkan dengan Wajib Belajar Sembilan Tahun
pada tahun1994. Selain itu, pemerintah semakin intensif untuk memberikan
bantuan berupa beasiswa, seperti Gerakan Orang Tua Asuh, Bantuan Operasional
Sekolah (BOS).
Di
dalam Propenas 1999 dalamnya memuat program-program baik untuk Pendidikan Dasar
dan Prasekolah, Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi, maupun pendidikan luas
sekolah. Di antara program-program tersebut terdapat Dasar dan Prasekolah,
maupun Pendidikan Menengah penuntasan wajib belajar 9 tahun sebagai Program
pembinaan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bertujuan untuk menyediakan pelayanan
kepada masyrakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal
untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan keterampilan, potensi
mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Untuk
melaksanakan ini maka dilakukan usaha berupa: meningkatkan sosialisasi dan
jangkauan pelayanan pendidikan dan kualitas serta
kuantitas warga belajar Kejar Paket B setara SLTP untuk mendukung wajib belajar
9 tahun, dan mengembangkan berbagai jenis pendidikan luar sekolah yang
berorientasi pada kondisi dan potensi lingkungan dengan mendayagunakan
prasarana dan kelembagaan.
Di
samping itu terdapat pula upaya pemerataan pendidikan adalah menerapkan pada
masyarakat yang kurang beruntung (masyarakat miskin, berpindah terasing,
minoritas dan di daerah bermasalah, termasuk anak jalanan), seperti menempatkan
satu guru, guru kunjung dan sistem tutorial, SD Pamong dan SD/Mts, SLTP/MTs
terbuka. Untuk meningkatkan kulaitas pendidikan dasar dan prasekolah dilakukan
dengan cara meningkatkan penyediaan, penggunaan, perawatan sarana dan prasarana
pendidikan berupa buku pelajaran pokok, buku bacaan, alat peraga Spesial (IPS),
IPA dan matematika, perpustakaan, laboratorium, serta ruang lain yang diperlukan.
Pada
jenjang perguruan tinggi ada kegiatan pokok untuk memperluas memperoleh
pendidikan tinggi bagi masyarakat. Kapasitas pendidikan tinggi secara geografis
untuk memberikan kesempatan bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah
termasuk kelompok masyarakat dari daerah bermasalah, dengan menyelengarakan
beasiswa perguruan tinggi sebagai pusat pertumbuhan di kawasan serta
menyelenggarakan pembinaan program unggul di wilayah kedudukan perguruan
tinggi. Salah satu upaya alternatif layanan pendidikan, khususnya bagi yang
berpindah-pindah, terisolasi, SD dan MI kecil MI terpadu kelas jauh. Dari
uraian di atas tampak jelas keinginan pemerintah untuk memajukan pendidikan
baik pendidikan dasar dan prasekolah, pendidikan menengah, pendidikan luar sekolah
dan pendidikan tinggi. Kegiatan yang sangat menonjol adalah upaya pemerataan
pendidikan, wajib belajar 9 tahun serta pembinaan perguruan tinggi.
Pemerataan
pendidikan dilakukan dengan mengupayakan agar semua lapisan masyarakat dapat
menikmati pendidikan tanpa mengenal usia dan waktu. Untuk itu dilakukan
pembinaan ke semua jenjang pendidikan baik pendidikan reguler ataupun terbuka
seperti SD kecil, guru kunjung, SD Pamong, SLTP terbuka, pendidikan penyetaraan
SD, SLTP dan SMU (paket A, B, C), dan pendidikan tinggi terbuka yang lebih
dikenal pendidikan jarak jauh. Suatu bukti bahwa pemerintah serius mengelola
pemerataan pendidikan dan penuntasan Wajib Belajar 9 tahun adalah kualitas dan
jumlah SMP Terbuka. Program SMP Terbuka seudah berjalan 25 tahun sejaktahun
1979 yang telah menamatkan 245 ribu siswa dengan jumlah sekolah 2.870 unit
sekolah, 12.871 Tempat Kegiatan Belajar (TKB ) dikan dianggarkannya Rp 90
miliar untuk meningkatkan(TKB), dan itu baru menjangkau 18% kebutuhan.
Pemerintah
telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi ketidakmerataan pendidikan
ini dengan cara Wajib Belajar Sembilan Tahun, pemberian beasiswa-beasiswa bagi
masyarakat yang kurang mampu atau miskin, kemudian memberikan Bantuan Dana
Operasional (BOS). Walaupun sudah diadakan sekolah gratis, Bantuan Dana
Operasional (BOS), ataupun alokasi dana BBM, namun bantuan yang diberikan belum
merata. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan apa yang
seharusnya mereka dapatkan, padahal seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan
yang layak.
1. Wajib Belajar
Dalam
sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9
tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti
dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994. Hal ini segaris dengan
semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di
Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29
yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan ‘sistem’
tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih
berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang
menanggungnya”.
Berbagai
upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan
penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan
Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain
dengan peningkatan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah
pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan
tahun 2006 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
2. Alokasi subsidi BBM
Pengalihan
alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah yang sebagian
diperuntukkan bagi sektor pendidikan dan kesehatan mungkin bisa menjadi
penghibur. Dari dana kompensasi bidang pendidikan direncanakan terdistribusi
dalam bentuk beasiswa. Sekitar 9,6 juta anak kurang mampu usia sekolah menjadi
sasaran dari program alokasi ini.
Pada tahun
2003, setidaknya 1 dari 4 penduduk Indonesia termasuk miskin. Jika total
penduduk Indonesia adalah sekitar 220 juta jiwa, maka berarti ada sekitar 60
juta jiwa saudara kita yang dalam kategori miskin. Artinya, apa yang sekarang
sedang direncanakan pemerintah sangat mungkin belum dapat menjangkau semua
rakyat miskin. Memang dibutuhkan cukup waktu untuk sampai ke situ. Yang jelas
awal menuju ke arah itutelah dimulai. Dalam konteks ini sebaiknya dibuat suatu
kriteria siapa yang bisa mendapatkan bantuan, dan siapa saja yang bisa menunggu
giliran berikutnya. Kriteria itu penting agar bantuan yang diberikan kepada
rakyat miskin tepat sasaran. Oleh karena itu, proses seleksi seharusnya benar didasarkan
oleh data lapangan yang seakurat mungkin.
3. Bidang Teknologi
Kemajuan
teknologi menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan
pendidikan kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil.
Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang
beruntung ini secara ekonomi ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau
oleh daya beli mereka.
Televisi
saat ini digunakan sebagai sarana pemerataan pendidikan di Indonesia karena
fungsinya yang dapat menginformasikan suatu pesan dari satu daerah ke daerah lain
dalam waktu yang bersamaan. Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada
prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya
kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk
ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur
masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan
masyarakat melalui tayangan-tayangan yang disiarkannya.
Sebagai
media yang memanfaatkan luasnya daerah liputan satelit, televisi menjadi sarana
pemersatu wilayah yang efektif bagi pemerintah. Pemerintah melalui TVRI
menyampaikan program-program pembangunan dan kebijaksanaan ke seluruh pelosok
tanpa hambatan geografis yang berarti. Saat ini juga telah dirintis Televisi
Edukasi (TV-E), media elektronik untuk pendidikan itu dirintis oleh Pusat
Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom), lembaga yang berada
di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ini untuk memberikan
layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan
nasional. Tugasnya mengkaji, merancang, mengembangkan, menyebarluaskan,
mengevaluasi, dan membina kegiatan pendayagunaan teknologi informasi dan
komunikasi untuk pendidikan jarak jauh/terbuka. Ini dalam rangka peningkatan
kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.
Siaran
Radio Pendidikan untuk Murid Sekolah Dasar (SRPM-SD) adalah suatu sistem atau
model pemanfaatan program media audio interaktif untuk siswa SD yang
dikembangkan oleh Pustekkom sejak tahun 1991/1992. SRPM-SD lahir dimaksudkan
untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. Produk media audio lain yang
dihasilkan oleh Pustekkom antara lain Radio Pelangi, audio integrated, dan
audio SLTP Terbuka. Tentu saja, itu tadi, termasuk TV-E yang akan berfungsi
sebagai media pembelajaran bagi peserta didik, termasuk mereka yang tinggal di
daerah terpencil dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu
pendidikan (Eka, R. 2007).
4.
Pemanfaatan APBN untuk pendidikan
Dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional
disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan baik dari segi mutu
dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945
mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Dengan kenaikan jumlah alokasi anggaran pendidikan diharapkan
terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional yaitu dengan memperbaharui visi,
misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional
mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman
yang selalu berubah.
Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi
anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara. Sehingga anggaran
pendidikan dalam UU Nomor 41/2008 tentang APBN 2009 adalah sebesar Rp
207.413.531.763.000,00 yang merupakan perbandingan alokasi anggaran pendidikan
terhadap total anggaran belanja negara sebesar Rp 1.037.067.338.120.000,00.
Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut disamping untuk
memenuhi amanat Pasal 31 Ayat (a) UUD 1945, juga dalam rangka memenuhi Putusan
Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 Nomor 13/PUU-VI I 2008.
Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, selambat-lambatnya dalam UU
APBN Tahun Anggaran 2009, Pemerintah dan DPR harus telah memenuhi kewajiban
konstitusionalnya untuk menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen untuk
pendidikan. Selain itu, Pemerintah dan DPR memprioritaskan pengalokasian
anggaran pendidikan 20 persen dari APBN Tahun Anggaran 2009 agar UU APBN Tahun
Anggaran 2009 yang memuat anggaran pendidikan tersebut mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat dan sejalan dengan amanat UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerataan pendidikan
merupakan sautu masalah yang sangat rumit dan takkunjung selesai. Banyak hal
yang mempengaruhi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia seperti pendidikan
masih berorientasi di wilayah perkotaan, jumlah masyarakat miskin cukup besar,
dan banyaknya daerah yang terpencil dan sulit dijangkau oleh kendaraan.
Berbagai upayapun telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah
pemerataan pendidikan seperti program wajib belajar 9 tahun, dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), relokasi subsidi BBM, dan penggunaan APBD. Namun
upaya tersebut masih belum merata.
B. Saran
Sebaiknya pemerintah lebih meningkatkan upaya-upaya pemerataan
pendidikan di Indonesia dan pengawasan terhadap penyaluran bantuan yang
diberikan masyarakat miskin seperti biaya siswa lebih ditingkatkan agar bantuan
tersebut tepet sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Dirga. 2013. Kualitas
pendidikan di Indonesia. http://dirgamath29.wordpress.com. diakses 18 Juni 2013
Eka,
R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia. http://edu-articles.com. diakses
18 Juni 2013
Sri Lestari. 2012.
Pemerataan Pendidikan. http://srilestari59.blogspot.com. diakses 18 Juni 2013
0 komentar:
Post a Comment