BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah :
Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem
pendidikan yang pada dasarnya
mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih rendah (Ace Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan karena data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi jumlah tenaga penganggur lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih rendah (Ace Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah.
Namun, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya
karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran terhadap data
empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang sekarang berlaku
seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang
menjelaskan masalah pengangguran. Cara berfikir seperti cukup berbahaya, bukan
hanya berakibat pada penyudutan sistem pendidikan, tetapi juga cenderung
menjadikan pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan secara
konseptual terhadap masalah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang dewasa
ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang
bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukkan permasalahan pada proporsi
yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan kedudukan sistem pendidikan dalam
kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan.
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat
pengangguran disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan
adanya pendekatan-pendektan tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match
perlu dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana konsep dasar Link and Match dalam
pendidikan?
2. Mengapa Link and Match itu diperlukan dalam
pendidikan?
3. Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk
mewujudkan Link and Match dalam pendidikan?
4. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan
ketenagakerjaan ?
C. Tujuan
Penulisan.
1.
Mendeskripsikan menjelaskan dasar Link
and Match dalam pendidikan.
2.
Mendeskripsikan Link and
Match itu diperlukan dalam pendidikan.
3.
Mendeskripsikan Pendekatan-pendekatan
apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match dalam pendidikan.
4.
Mendeskripsikan hubungan
antara pendidikan dan ketenagakerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Link and Match
Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti
sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan
sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung
bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan
langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan
yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan
norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka
pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak
direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata
lain, dalam situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada
dasarnya sesalu bersifat linked and matched.
Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match)
antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan Mendiknas Prof.
Dr. Wardiman perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran
lulusan perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik
dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match antara lembaga
pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok
tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan
timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai
dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang.
Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama
ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan
mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.
Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi
menghasilkan sesuatu yang amat berharga dan bukan hanya sekedar kertas tanpa
makna, yaitu produk kepakaran, produk pemikiran dan kerja laboratorium.
Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik oleh industri di Indonesia.
Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat konsultatif. Tetapi
produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik.
Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang
sederhana. Karena itu, idealnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan
untuk menyukseskan program Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja
(perusahaan) dan pemerintah. Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan
tinggi merupakan keharusan dan syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan
pengelola perguruan tinggi menjadi faktor penentu bagi sukses tidaknya program
tersebut.
Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan
suatu perguruan tinggi untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan
tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk
mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan
kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indonesia diketahui,
keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja adalah
kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan
kemampuan akuntansi. Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan
mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi
sepuluh tahun ke depan.
Seharusnya perguruan tinggi mulai menjadikan
kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di kampusnya.
Dengan demikian, diharapkan, lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal
secara teori, tentang
kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus. Meskipun demikian,
perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan
kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang berguna bagi
mahasiswa yang termotivasi untuk
melanjutkan studi ke jenjang strata yang lebih tinggi.
Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus
menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia
menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan
magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya
siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga
diuntungkan dengan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu,
seyogianya pemerintah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme
implementasi ilmu dari perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan
program Link and Match ini berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa
manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and
Match sangat besar. Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan
bersedia membuka mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya.
Perguruan tinggi harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang
dibutuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah utama. Perusahaan juga harus
membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa perguruan tinggi yang ingin
magang (bekerja) di perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan
tidak semata memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan)
sebagai proyek belaka.
Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif,
afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari
pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere,
suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak
berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan
orang bahwa kemampuan berfikir dan menentukan identitasdiri sekarang ini jauh
lebih penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah
proses bukan produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh
mengijinkan pendidikan formal mengganggu proses belajar terus
menerus. Tidak selayaknya orang berhenti dari proses belajar sesudah
pendidikan formal selesai (Sindhunata, 2000: 130).
B.
Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match
1. Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan
atas keperluan masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada
tujuan pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan
(Husaini Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan
pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan
lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan
sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua
secara bebas. Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannyaa
sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.
Menurut Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara
menjelaskan dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau
berhubungan dengan aspek sosial dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan
secara efektif dan efisien.
Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat
tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi
tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan
waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada
pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan
lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluuruh kelompok
umur yang ingin menerima pendidikan.
Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa
kelemahan dalam pendekatan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan ini mengabaiakan masalah alokasi dalam
skala nasional, dan secara samar tidak
mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena
beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk
segenap rakyat Indonesia.
2. Pendekatan ini meng`baiakn kebutuhan
ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga
dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.
3. Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan
pendidikan saja sehingga kuantitas lebih diutamakan dari pada kualitanya.
2. Pendekatan Ketenagakerjaan
Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu
negara sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan.
Karenanya wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa
negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara
berbagai periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah
(sebut saja kebijakan lima tahunan), disana tergambar secara jelas
harapan-harapan yang akan dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan
kata lain kebutuhan akan pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan
selalu dijadikan penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal
perencanaan.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini
kegiatan-kegitan pendidikan diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan
nasional akan tenaga kerja pada tahap permulaan pembangunan tentu saja
memerlukan banyak tenaga kerja dari segala tingkatan dan dalam berbagai jenis
keahlian.
Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan
supaya pendidikan mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil
untuk pembangunan, baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya.
Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan
kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.
Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan
oleh negara-negara yang sudah berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah
maju, dimana setiap waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi
modern dengan menciptakan teori dan sistem yang baru dengan sendirinya
mendorong teknologi untuk berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula
timbulnya kebutuhan akan tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau
mengelolanya.
Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini
dapatt dikatkan sebagai pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan
pendidikan yang ditujuakan kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan
pendidikan diperlakukan sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai
pengeluaran investasi.
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan
keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga
kerja, didalam pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan
yang paling utama, yaitu;
1. Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan
pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena
hanya akan menghasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan
sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2. Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan
persediaan.
3. Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk
memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah ubah
sesuai dengan cepatnya perubahan zaman.
Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa masalah
pengangguran dikalangan terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan
perencanaan pendidikan yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan
pengangguran bukan semata-mata kesalahan dunia pendidikan, peningkatan
pengangguran di karenakan sempitnya lapanfan kerja, sempitnya lapangan kerja
disebabkan pemerintah yang kurang bisa membuka lapangan kerja yang baru.
Perbaikan sistem dan perencanaan pdndidikan bukan
berarti pendidikan harus melahirkan atau meluluskan lulusan yang siap pakai.
Kalau yang dimaksud dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan yang mengenali
dan menguasai permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan ilmunya; maka
bukan pada tempatnya hal itu dibelajarkan pada pendidikan formal yang ada
sekarang ini.
C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi ?. Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu
dilakukan melalui pendidikan formal ?. Titik singgung antara pendidikan dan
pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin
tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu
pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan
memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di
dalam meningkatkan produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu
masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu
memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan
msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa
pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi
masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan
pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost
benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka
muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori
kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh
dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan.
Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo
dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan
pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui
perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya
penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing
memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti
Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan
ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu:
1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem
pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan
kebutuhan lapangan kerja yang tersedia,
2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya
sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber
penggerak pembangunan atau sebagai driving force.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak
pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme.
Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga
yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus
dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam
menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini
amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan
demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan
kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi
mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan
medha yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan
lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai
”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan
dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem
pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat
membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebttuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangk`n lebih jauh di dunia kerja.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangk`n lebih jauh di dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS
yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan
berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan
selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah
pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja
terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah
angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang
diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini
diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh
sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan
kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidik`n pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja
berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja
pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja
telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini
didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi
pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya
pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah
setiap tahun.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan
Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran
sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan
kecenderungan sebagai berikut:
1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar
kemungkinan terjadinya pengangguran
2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung
terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik
3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan
jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat
ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand
lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya, karena
sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan
ini masih dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian yang
diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan
kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur diupayakan memiliki
pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai
Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih
tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan
makro dan mikro (khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam
beberapa poin:
Pertama, pengembangan mindset dan wawasan
penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki
potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan mengembangkan secara
optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan
potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai
dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kedua, melakukan
pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai
prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan
membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial
yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak
dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional
yang terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga
itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat
perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan perizinan karena
dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik
Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi
masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas
dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan
lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi)
masalah pengangguran dengan masalahdi wilayah perkotaan lainnya, seperti
sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya,
terdiri dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik
yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah
untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke
wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan.
Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja
secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan
dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan
menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain
sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak
(software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan
sosial penganggur atau bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang akan dikirim keluar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman
TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal
itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Bagi
pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan
aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan
Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu
diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training
Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak
peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri
tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan
sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat
menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu renrientasi supaya
dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan
nasional perlu direstrukturisasi. Perestroika shstem pendidikan tinggi meliputi
berbagai aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah
perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI
dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan
produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya.
Akibatnya, bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru
sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi
kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak
geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang
sangat potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu
dikelola lebih baik supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan
remuneratif.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan)
merupakan konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja, atau
dengan kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga
kerja dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi
pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia usaha/industri.
2.
Dengan link dan match ini suatu lembaga khususnya
Perguruan Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan
perusahaan atau industri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut.
Perguruan tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja.
3.
Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link
and Match adalah pendekatan social dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan
sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana
pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan
kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan
tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan
fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta
memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas.
4.
Pendidikan formal dianggap sebagai penentu dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara pendidikan dan pertumbuhan
ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu
pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori
Human Capital yang menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan
produktivitas kerja.
B.
Saran
Sebaiknya pendekatan yang digunakan
untuk mewujudkan Link and Match adalah pendekatan social dan pendekatan
ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas
keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan
pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan
sosial merupakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan
menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk
memasukan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan
orang tua secara bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Cammings,
Williams. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K
Limongan,
Andreas. Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari 2008
Sa’ud, Udin
Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu
Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II
Suryadi, Ace
dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar
Bandung: Rosdakarya
Tilaar,
H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV
Usman,
Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara
0 komentar:
Post a Comment