BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberadaan mahasiswa di tanah air,
terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi
mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran
strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.
strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa
merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan
bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam
perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa
mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada
di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah
letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan
partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang
lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan
daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang
tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.
Sejarah menunjukkan bahwa selain
aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal
sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan
momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik
nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan,
gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya
Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada 1998 lalu
menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di
tanah air. Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan
kehidupan kaum muda dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang
sejarah modern bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu
menurut momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam
perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia
dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga 1998 juga
bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam
perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada tidaknya
“prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan gerakan
mahasiswa. Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan
yang esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan
dalam menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana munculnya gerakan perubahan sosial
?
2. Jelaskan gerakan moral dan gerakan politik
!
3. Bagaimana pasang surut gerakan mahasiswa !
4. Jelaskan kontribusi gerakan mahasiswa terhadap perubahan social-politik
Indonesia ?
C. Tujuan
1.
Mahasiswa dapat mengetahui munculnya gerakan perubahan sosial.
2.
Mahasiswa dapat mengetahui gerakan moral dan gerakan politik.
3.
Dapat pasang surut gerakan mahasiswa.
4.
Mahasiswa mampu mengetahui kontribusi gerakan mahasiswa terhadap perubahan
social-politik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Munculnya Gerakan Perubahan Sosial
Secara teoritis, literatur-literatur ilmu politik
menjelaskan beberapa pandangan yang menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan
yang mengarah pada perubahan sosial. Pandangan pertama menjelaskan bahwa
gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan
(political opportunity) bagi gerakan itu. Pemerintah yang moderat, misalnya,
memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang
pemerintahan yang sangat otoriter. Kendala untuk membuat gerakan di negara yang
represif lebih besar dibandingkan dengan negara yang demokrat. Sebuah
pemerintahan negara yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap
oposisi, menurut pandangan ini, akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan
sosial yang selama ini terpendam di bawah permukaan.
Pandangan kedua berpendapat bahwa
gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada.
Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya, dapat
mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang
kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan
lunturnya nilai-nilai yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan
menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi
gerakan sosial. Pandangan ketiga beranggapan bahwa gerakan sosial adalah
semata-mata masalah kemampuan (leadership capability) dari tokoh penggerak.
Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan,
membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk
terlibat dalam gerakan tersebut.
Selain itu, dalam sebuah perubahan
sosial, selalu ditemukan faktor-faktor penting yang menjadi pemicu lahirnya
perubahan yang pada gilirannya menjadi realitas sosial baru. Perintis
sains-sains sosial Islam, Dr. Ausaf Ali berpendapat bahwa faktor-faktor penting
yang menjadi pemicu perubahan itu adalah: pertama, munculnya kritik terhadap
realitas dan praktek sosial yang ada, yang dilakukan oleh mereka yang cenderung
terhadap tatanan baru. Kedua, adanya paradigma baru nilai-nilai, norma dan
sistem penjelas yang berbeda; dan ketiga, partisipasi sosial yang dipilih oleh
mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasikan
masyarakatnya. Faktor-faktor penting tersebut dapat kita lihat dalam sejarah
Renaisance di Eropa, lahirnya Marxisme dan Sosialisme di Eropa Timur, dan
terutama sekali sejarah perjuangan nabi-nabi, serta berbagai perubahan sosial
mutakhir yang melibatkan para mahasiswa.
Sementara Huntington (1991)
menjelaskan mekanisme transisi politik dari pemerintahan ortoriter ke
demokratis dengan mengajukan empat model perubahan politik. Pertama, model
transformasi (transformation). Dalam hal ini, inisiatif demokratisasi berasal
dari pemerintah. Pemerintahlah yang melakukan liberalisasi sistem politik.
Biasanya model ini terjadi di negara yang pemerintahannya sangat kuat,
sementara masyarakat sipilnya lemah. Transisi yang terjadi di Taiwan pada awal
tahun 1990-an, ketika pemerintah Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang
demokratis kira-kira masuk dalam model ini. Juga proses perubahan transisi
politik yang terjadi di Spanyol dan Brazil.
Kedua, model replasi (replacement).
Model ini terjadi ketika pemerintah yang berkuasa dipaksa untuk meletakkan kekuasaannya
dan kemudian digantikan oleh kekuatan oposisi. Berbeda dengan model pertama di
atas, model ini terjadi di negara yang pemerintahannya mulai lemah, sedangkan
masyarakat sipilnya tubuh menjadi kuat. Rejim Marcos di Filipina yang dipaksa
turun oleh rakyatnya dan kemudian digantikan oleh Cory Aquino merupakan contoh
yang tepat untuk model ini, selain Jerman Timur dan Portugal.
Ketiga,
model transplasi (transplacement). Model ini merupakan gabungan dari dua model
yang sudah disebutkan di atas. Model ini terjadi karena pemerintah yang
berkuasa masih kuat, sementara pihak oposisi belum terlalu solid untuk
menjatuhkannya. Maka diupayakanlah berbagai proses negosiasi antara pihak
pemerintah dan pihak oposisi tentang bagaimana langkah-langkah yang harus diambil
bersama untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis secara gradual. Lech
Walesa di Polandia agaknya mempraktekkan model ini dengan cara melakukan
negosiasi dengan pihak militer untuk mewujudkan demokratisasi. Hal yang sama
terjadi di Bolivia dan Nicaragua.
Keempat, model intervensi
(intervention). Model ini terjadi disebabkan oleh keterlibatan pihak eksternal
yang turut campur. Contoh kasus yang paling tepat barangkali adalah intervensi
angkatan perang AS terhadap pemerintahan Panama dengan tuduhan keterlibatan
jaringan perdagangan obat bius. Intervensi akhirnya mendorong dilaksanakan
pemilu yang demokratis.
Mengacu pada beberapa rumusan
teoritis di atas, maka dinamika keterlibatan mahasiswa dalam setiap momen
perubahan sosial politik sangat bervariasi, tergantung pada kondisi obyektif
yang ada. Dalam sistem politik nasional yang otoriterianistik, seperti
Indonesia pada jaman Orde Baru, gerakan mahasiswa cenderung sulit menemukan
bentuknya yang heroik. Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi dari upaya
sebuah rejim otoriter untuk membungkam setiap gerakan yang berseberangan dengan
kekuasaan, termasuk gerakan mahasiswa. Dalam kondisi yang demikian, maka yang
terjadi adalah upaya pemasungan dan pengendalian hak-hak mahasiswa. Mahasiswa
kemudian diarahkan menjadi “anak baik” yang akan mengisi kotak-kotak
pembangunan, tanpa disertai adanya kesadaran yang tepat terhadap berbagai
persoalan masyarakat. Lulusan perguruan tinggi pun hanya menjadi kacung
pembangunan untuk melegitimasikan kekuasaan otoriter yang korup. Itulah yang
terjadi selama ini.
Namun demikian, dalam logika
gerakan, kondisi yang otoriterianisktik dan korup justru menjadi faktor awal
untuk memunculkan kritik dan berbagai ketidakpuasan sosial lainnya. Dalam
perspektif yang lebih luas, ketimpangan dunia dalam wujud kapitalisme dan
imperialisme juga menjadi landasan kritik bagi gerakan mahasiswa. Dinamika
kondisi politik yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi,
juga akan melahirkan berbagai gerakan mahasiswa yang selama ini terpendam di
bawah permukaan. Atau menurut terminologi Huntington, dalam model replasi dan
transplasi akan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi gerakan mahasiswa.
Selain itu, perkembangan gerakan
mahasiswa di banyak negara lain di manca negara secara langsung maupun tidak
langsung akan berpengaruh pada gerakan mahasiswa di tanah air. Gerakan
mahasiswa di Korea, Cina, Amerika Latin, dan lain sebagainya sering menjadi
referensi pembanding dalam merumuskan strategi gerakan yang efektif bagi
gerakan mahasiswa kita.
B. Gerakan
Moral dan Gerakan Politik
Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa kondisi
subyektif dan kondisi obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak
gerakan mahasiswa. Secara sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk
mencapai perubahan jangka panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka
panjang ini adalah perubahan yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan
mahasiswa tidak hanya membutuhkan modal berupa keberanian di tingkat praksis
(eksoterik), tetapi juga kecanggihan di tingkat wacana.
Pendekatan esoterik biasanya kita
akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan
banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah orientasi
perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi
perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan
akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas
merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.
Sementara pendekatan eksoterik,
membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam
persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk mencapai
tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini
tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah strategis taktis sebuah
gerakan.
Dari pendekatan di atas, maka kita
akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar
yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan
politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan sebagai sebuah
gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal, yakni nilai kebenaran,
keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan sebagainya. Sebuah gerakan
moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan politik praktis dengan
saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok tertentu (power block).
Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan
demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan
nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan
mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan mendukung
kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut
tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud,
maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya. Jadi,
ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk
memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah
independensi gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat
kekuatan politik tertentu.
Sementara gerakan politik merupakan
gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan politik
tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik mahasiswa. Mereka
tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi politik dengan kekuatan
politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan sebagai strategi untuk
mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral sebagai ketakutan untuk
bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu melakukan himbauan
moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel tidak apa-apa,
sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka.
Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah
menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa Indonesia di
Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Sosiolog Arief Budiman bahkan
mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang
ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu
daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang
koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada
kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.
Dari kedua konteks di atas, maka
seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan pola-pola gerakan yang bervariasi.
Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara gerakan moral dan gerakan
politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri. Karena itu, apapun
penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting tetap mampu
memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik. Dengan
kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan moral)
akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan dalam
mencapai orientasi perubahan.
C.
Pasang Surut Gerakan Mahasiswa
Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang diprakarsai
oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada tahun 1925
merupakan momentum awal dari semua gagasan dan ide tentang sebuah gerakan
perubahan kaum muda yang plural dan terorganisir secara modern, yang bertujuan
untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Perhimpunan
Indonesia ini merupakan perubahan nama dan terjemahan dari nama Belandanya,
yakni Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia
di Belanda yang telah ada sejak 1908. Penggunaan kata “Indonesia” menunjukkan
adanya keinginan besar mahasiswa Indonesia waktu itu untuk melepaskan bangsa
ini dari kolonialisme Belanda.
Akira Nagazumi (1977) mencatat bahwa
dalam suatu karangan mengenai “Perhimpunan Indonesia”, Soenario, pemimpin organisasi
ini pada pertengahan tahun 1920-an, membagi sejarah organisasi tersebut dalam
lima kurun waktu, yakni:
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat. 2. 1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya. 3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan nama. 4. 1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik. 5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti fasis.
1.1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat. 2. 1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya. 3.1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan nama. 4. 1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik. 5.1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti fasis.
Pada tahun 1900 hanya ada lima
mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda,
tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada
tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939). Walaupun
dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama,
ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda, tidak
seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama, lambat laun
menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah
ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa
para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang
Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia
Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka
yang berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya,
Indische Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian,
ternyata masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia
Belanda untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.
Kedua, Indische Vereniging bukan
hanya sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis
mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya menetapkan
sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang
Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”. Pada
bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden mempersoalkan istilah “orang
Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi pada waktu itu, harus
menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan tersebut digunakan dan
bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan
konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).
Dalam sejarah perjalanannya,
Perhimpunan Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara
egaliter dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal
bangkitnya semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923
hingga tahun 1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi mahasiswa
menjadi organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat berani waktu itu.
Semangat mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia
kemudian semakin mengkristal dalam berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan
lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
D.
Kontribusi Gerakan Mahasiswa
Terhadap Perubahan Social-Politik Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, peranan
mahasiswa mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada
masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden Sukarno dan Angkatan Darat
merupakan aktor-aktor yang menentukan. Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB
pada bulan Maret 1957, berhasil menciptakan transformasi dan konsolidasi
politik internal. Sehingga secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan.
Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way
(jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI).
Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya semakin
sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer menjadi aktor
dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya. Soekarno
kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara Angkatan
Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan dengan
Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).
Peran mahasiswa pada era ini tumbuh
bersamaan dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang
menjadi cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk
menjadi partisipan politik atas namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi
Parlementer peran seperti ini hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu
posisi mahasiswa selalu berada dalam subordinat partai politik dengan ideologi
dan alirannya masing-masing. Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan
dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S)
menyebabkan terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang
tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer,
terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal Suharto dan
lahirlah Orde Baru.
Semasa Orde baru berkuasa, tercatat
banyak momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa
tahun 1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang meminta Presiden
Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada ditangkap dan
diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu, pemerintahan Suharto menerapkan
langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan mahasiswa dengan melakukan
depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kampus menjadi bagian dari
birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada penghancuran
infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan
dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan
birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam
politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna
dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan
“inertia”. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.
Lebih parah lagi, kebijakan
deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan diterapkannya
azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika gerakan mahasiswa
menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh lembaga-lembaga mahasiswa intra
kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra
kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan
seperti ini, model-model gerakan berubah total dari pola jalanan (demonstrasi)
ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka
muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang
aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir
tahun 1997-an
Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan
mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum
surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg,
tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali
melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup
menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat
Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa cukup berani
dan eksis dalam gerakan tersebut. Di Yogyakarta ada LMMY (Liga Mahasiswa Muslim
Yogyakarta) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi).
Sementara di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta.
SMID yang kemudian menjadi lembaga
tingkat nasional menggambarkan rejim Orde Baru sebagai bersifat fasis dan
totaliter, dan pada 1994 menuntut sebuah sistem multipartai demokratis. Setelah
terjadinya pembantaian dan kerusuhan di kantor pusat PDI pada Juli 1996, banyak
aktivis SMID ditahan. Sementara itu, aktivis mahasiswa muslim, termasuk yang
ada di FKMIJ, mengorganisir demonstrasi besar-besaran menentang judi milik
negara, SDSB, pada 1993. Protes-protes keras terutama yang didasarkan pada
nilai-nilai agama dan moral, memaksa pemerintah membubarkan usaha itu.
Demonstrasi anti SDSB merupakan arak-arakan protes pertama yang mencapai istana
kepresidenan di Jakarta. Aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga ikut ambil
bagian untuk menyatakan solidaritas terhadap Bosnia dan menentang pemberantasan
korupsi (Uhlin, 1998). Hal senada juga dilakukan mahasiswa muslim Yogyakarta
dibawah payung LMMY. LMMY dan FKMIJ merupakan institusi kantong Himpunan
Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) yang menjadi lembaga
bawah tanah selama Orde Baru berkuasa.
Menjelang akhir tahun 1997 saat
Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis lainnya,
para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan
menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen
aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi
masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah keinginan bersama
untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi
besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal
menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan
berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang
justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian,
tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto mengundurkan
diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa bersama
elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam
menggulingkan rejim Orde Baru.
Kalau pada tahun 1966 mahasiswa
bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998
mahasiswa justru menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang
dianggap anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada
1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa
perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi
Orde baru masih banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat
tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari
Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang
sejak awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah
peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan
berbagai agenda reformasi yang belum berjalan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejak Perhimpunan Indonesia berdiri
pada 1908 hingga tahun perubahan politik nasional tahun 1998, gerakan mahasiswa
Indonesia mengalami fluktuasi dan pasang surut mengikuti situasi perubahan yang
terjadi. Dalam masa-masa itu pula peran sentral mereka dalam perubahan terlihat
jelas. Walaupun demikian, ada juga masa-masa di mana mereka tidak mampu
menampilkan perannya secara maksimal, seperti pada saat kurun waktu 1978 hingga
awal 1990-an. Disamping itu, kondisi subyektif seperti yang dijelaskan Sarlito
menunjukkan bahwa para aktivis mahasiswa adalah kelompok minoritas kreatif yang
kerap tampil sebagai penggerak utama dalam setiap momentum gerakan.
Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa
Indonesia ke depan? Apakah mereka akan menemukan bentuknya yang relevan, atau
justru kembali pada pengulangan sejarah dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita
melihat kondisi ril sejak reformasi 1998, gerakan mahasiswa cenderung tidak
jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak serta merta memberikan dinamika positif
pada gerakan mahasiswa selanjutnya secara keseluruhan. Ternyata, depolitisasi
Orde baru masih tersimpan dalam alam bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita
hingga kini. Sehingga pembinaan mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum
berubah dan beranjak maju. Dengan kata lain, masih seperti pada jaman orla dan
orba. Lemahnya proses ideologisasi dan hanya ditopang oleh semangat euforia
sesaat, menyebabkan gerakan tahun 1998 hanya menemukan momentumnya yang
sementara, dan kemudian redup.
B. Saran
Buat
para pembaca, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana
mestinya. Diharapkan agar dapat memahami maksud dan isi dari tulisan serta
dapat memberikan kontribusi yang membangun terhadap pengembangan tulisan ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Akira Nagazumi, 1977, Masa awal
Pembentukan “Perhimpunan Indonesia”: Kegiatan Mahasiswa Indonesia di Negeri
Belanda, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Anders Uhlin, 1998, Oposisi
Berserak; Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Mizan, Bandung.
Arbi Sanit, 1981, Sistim Politik Indonesia, Jakarta,
Penerbit CV Rajawali,
Eggi Sudjana, 1995, Transformasi
Gerakan Politik Mahasiswa Indonesia, Jurnal Universal, Jakarta.
Mohtar Mas’oed, 1994, Negara,
Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
0 komentar:
Post a Comment